NASIONAL

Featured Video

Games

daerah

Fashion

pendidikan

JANGAN GADAIKAN LAMPUNGKU

Menara Siger
Oleh Hary Kohar
Koordinator Forum Masyarakat Transparasi Lampung (FMTL)

Saat ini, masyarakat Lampung berada dalam tahun politik, tahun hiruk-pikuk upaya politikus memengaruhi masyarakat untuk merebut kekuasaan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi pada Pemilihan Serentak 27 Juni 2018.

Istilah lain, pesta demokrasi. Saat dimana sekitar 6 juta rakyat provinsi ini akan menentukan sendiri figur pemimpin yang dikehendakinya. Ada tiga faktor setidaknya yang menentukan pilihan, yakni figur sang calon, mesin politik, dan demografis pemilih.

Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yudha mengatakan untuk Pilkada 2017, figur sangat memengaruhinya. masyarakat cenderung memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak kepemimpinan.

Sikap tegas, matang dalam berpolitik, dan memiliki kebijakan yang prorakyat juga sebagai penentu. Faktor figur juga dilihat dari prestasi dan sikap politiknya. Sikap ini juga harus dimiliki wakil gubernurnya juga.

Faktor kedua yang bisa memengaruhi pilihan masyarakat adalah mesin politik sang calon. Setiap calon kepala daerah bisa menggunakan partai politik, relawan, media sosial, dan lain sebagainya sebagai mesin politiknya.

Terakhir atau ketiga adalah faktor demografis pemilih, suku dan agama. Di Lampung, faktor ini sepertinya paling kecil dibandingkan dua faktor sebelumnya. Sebutan Lampung sebagai Indonesia Mini menggambarkan daerah ini sudah lebih terbuka soal suku dan agama.

Ketiga faktor yang bisa memengaruhi suara pemilih tersebut sebetulnya tidak dipengaruhi oleh "ongkos politik" atau "amunisi" yang dimiliki sang calon. Jika masyarakat, partai, dan calon itu sendiri sungguh-sungguh hendak mendapatkan pemimpin ideal.

Komite Pemilihan Umum sudah membuat standar atau aturan mainnya, mulai dari jadwal pemilihan, persiapan, pendaftaran, sosialisasi para calon, debat konsep visi dan misi para kandidat, pemilihan, hingga penghitungan suara.

Pada sosialisasi calon, KPU telah membuat rambu-rambu agar para calon tak adu banyak uang, jor-joran, dalam masa sosialisasinya, baik berupa media sosialisasi maupun kegiatan sosialisasinya itu sendiri.

Masalahnya yang terjadi saat ini, para calon sudah "curi" star. Sosialisasi dilakukan jauh sebelum memasuki tahapan pemilihan. Karena arena ini masih abu-abu, dianggap belum memasuki tahap pemilihan, ada calon yang sudah kampanye.

Karena masih area abu-abu, dianggap belum memasuki tahap pemilihan, tak ada standar kampanyenya, baik durasi, konsep even sosialisasi, dan lainnya. Semua tergantung kemampuan atau kantong dari calon itu sendiri atau sumbangan mitra yang umumnya para pengusaha.

Jika yang terjadi sumbangan mitra atau pengusaha tersebut jauh lebih besar dari kemampuan sang calon, ada pepatah : Tak Ada Makam Siang Gratis. Sangat mungkin mereka yang membantu sosialisasi dalam jumlah besar memiliki agendanya sendiri.

Ada kemungkinan agenda kepentingannya atas kompensasi terpilihnya sang calon kelak. "Tak Ada Makan Siang Gratis". Kompensasi itu yang bisa dibayar mahal oleh rakyat kelak berupa kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak prorakyat, tapi propengusaha tersebut.

Namun, tetap, masyarakat yang punya hak suara. Masyarakat semakin cerdas melihat calon pemimpinnya bukan berdasarkan durasi dan hinggar binggarnya sosialisasi tapi berdasarkan figur dan rekam jejak kinerjanya.

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © Bunk PeNa. Designed by OddThemes & VineThemes