Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait saat Seminar Nasional dengan tema "Menangkal Faham Radikalisme, Kebencian dan Persekusi Terhadap Anak Indonesia". |
Dalam sidang pleno di Valencia, Spanyol, FATF pada Jumat (23/6) lalu, Presiden FATF yang didukung oleh mayoritas peserta sidang, memutuskan untuk segera memproses keanggotaan Indonesia dalam FATF.
Melalui rilis resminya, Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa capaian ini bisa direngkuh berkat lobi intensif yang dilakukan Delegasi RI dari unsur Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, PPATK, KBRI Madrid, dan PTRI Jenewa. Kepala Biro KLI Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menyebutkan, proses pembahasan akhirnya disepakati untuk dimulai pada Sidang Pleno FATF di Argentina pada Oktober 2017 mendatang.
Melalui surat resmi tertanggal 29 Juni 2017 yang dikirimkan oleh President FATF Juan Manuel Vega-Serrano kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, disebutkan bahwa sidang pleno di Valencia memutuskan untuk mendukung Indonesia memroses keanggotannya secara resmi.
"Sidang pleno sepakat untuk membuka keanggotaan untuk Indonesia," ujar Juan Manuel dalam rilis resmi Kemenkeu dilansir dari Republika.co.id, Minggu (2/7).
Kementerian Keuangan berkeyakinan, aplikasi Indonesia yang didukung secara bulat atau unanimous oleh 37 anggota FATF, memiliki arti strategis lantaran FATF adalah suatu forum kerja sama antarnegara yang bertujuan menetapkan standar global rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta hal-hal lain yang mengancam sistem keuangan internasional.
Nufransa menyebutkan bahwa Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi besar dunia yang juga merupakan anggota G-20, sudah selayaknya berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan strategis yang dapat menentukan sistem keuangan internasional.
Pemerintah, kata dia, menilai bahwa hal-hal yang menjadi nilai positif Indonesia antara lain adalah kemajuan signifikan dalam aspek regulasi, koordinasi dan implementasi dalam rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Ia merinci, kemajuan Indonesia dinilai signifikan karena telah memiliki UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 9/2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, maupun penerbitkan Peraturan bersama mengenai proliferasi senjata pemusnah massal.
Pengalaman dan kapasitas Indonesia dalam isu ini juga dipercaya dapat memberi nilai tambah yang signifikan bagi FATF beserta anggota dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Sementara di tingkat internasional, Indonesia adalah anggota aktif dalam The Egmont Group, Asia-Pacific Group on Money Laundering (APG), termasuk menggiatkan serangkaian kerja sama Financial Intellegence Unit (FIU) Indonesia dengan FIU negara-negara lain.
"Indonesia juga berkontribusi bagi komunitas internasional dengan menyusun Regional Risk Assessment on Terrorism Financing yang pertama di dunia, menginisiasi National Risk Assessment on Money Laundering/Terrorist Financing, dan menyusun AML/CFT Perception Index yang pertama di dunia," katannya.
Kementerian Keuangan juga menegaskan untuk memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan, termasuk dengan menyelesaikan proses Mutual Evaluation Review (MER), sebagai bukti kepatuhan Indonesia terhadap rezim anti-pencucian uang dan pendanaan terorisme, termasuk dengan melibatkan 15 kementerian dan lembaga terkait untuk menyempurnakan dan melengkapi hal-hal yang masih perlu dilakukan terkait pelaksanaan MER pada November 2017.
"Dengan akan diterimanya Indonesia sebagai anggota FATF, maka negara kita menjadi setara dengan negara-negara maju dalam memerangi secara aktif tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme," ujar Nufransa.
sementara, masifnya aksi-aksi terorisme hari ini menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist MerdekaSirait, akibat tumbuh dan berkembangnya paham Radikalisme. Menurutnya bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami tantangan untuk menangkal paham tersebut.
Ironisnya paham Radikalisme itu sedang diajarkan kepada anak-anak melalui orangtua masing-masing oleh kelompok tertentu yang menganut faham ajaran kekerasan.
"saat ini sedang terjadi penanaman faham Radikalisme, Kebencian dan Persekusi. Ini dilakukan lewat buku-buku bacaan, kemudian ajakan untuk melakukan tindakan serta ujaran kebencian misalnya anak-anak diajarkan oleh orangtua untuk tidak bersahabat dengan orang-orang yang tidak satu pemahaman dengannya, tidak satu iman dan seterusnya," ujar Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait melalui sambungan telepon.
Arist mencontohkan, ajaran-ajaran tersebut tidak seharusnya diajarkan kepada anak-anak untuk memusuhi oranglain sehingga orang-orang yang tidak satu pemahaman dianggap kafir.
"anak-anak kan tidak tahu apa yang sedang diajarkan pada mereka. Ini sangat disayangkan karena anak itu masanya bermain, hak-haknya yang menyenangkan dipenuhi bukan doktrin-doktrin seperti itu," tutur Arist.
Upaya menangkal faham Radikalisme tersebut didiskusikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan di Bali pada sabtu (1/7/2017) dengan tema "Menangkal Faham Radikalisme, Kebencian dan Persekusi Terhadap Anak Indonesia".
Arist pun menanggapi aksi terorisme belakang yang terjadi seperti aksi bom bunuh diri dan penyerangan terhadap polisi karena negara dianggap menghalangi tujuan kelompok radikal tersebut.
"kelompok radikal kerap menyerang polisi karena dianggap yang menghalangi Visi Misi mereka jadi Polisi-TNI bagi mereka institusi nyata yang menghambat tujuannya maka itu mereka memusuhinya," kata Arist Merdeka Sirait.(Republika.co.id/Kopiinstitue.com)
Posting Komentar