Ilustrasi Tersangka |
Kopiintitute.com - EMPAT tersangka dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) di Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandar Lampung tidak ditahan. Keempatnya ditetapkan tersangka dalam kasus berbeda. Slamet Riyadi Chan alias Ko Slamet dan Wilson diduga terlibat kasus Proyek Peningkatan dan Pelebaran Jalan Sentot Alibsya Senilai Rp 5,2 Milar APBD Bandar Lampung tahun anggaran 2014.
Alasan penyidik tidak melakukan penahanan Ko Slamet dan Wilson karena dianggap kooperatif sehingga menurut jaksa tidak menghalangi proses hukum. Terlebih, kontraktor kelas kakap ini dalam kondisi tidak sehat, diperkuat hasil rekam medik dari tenaga medis Singapura. Lantas dimana efek jeranya???
Kemudian Liones Wangsa dan Ihwani yang terseret kasus Proyek Pembangunan Pabrik Es Senilai 1,7 Miliar Dina Kelautan dan Perikanan (DKP) Bandar Lampung tahun anggaran 2012, juga tidak ditahan karena menurut jaksa belum pernah diperiksa.
Status tersangka yang melekat pada keduanya pun baru sebatas penetapan tersangka. Oleh sebab itu, karena keduanya belum diperiksa dalam kapasitas sebagai tersangka maka penyidik belum bisa memutuskan apakah harus ditahan atau tidak.
Dalam konteks menahan tersangka korupsi, tentunya penyidik lebih tahu dengan alasan subyektif serta konsekuensi atas sikapnya tidak menahan tersangka. Sikap tersebut didasari pertimbangan bahwa tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta mengulangi perbuatannya.
Pertanyaannya kemudian ialah siapa yang memberi garansi ?? Tentunya pertimbangan subyektif dan keyakinan jaksa tersebut sulit diukur layaknya mengukur niat seorang tersangka untuk tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatannya tanpa pengawasan disertai pembatasan ruang gerak.
hal itu bisa dilakukan bila tersangka berada dalam tahanan. Kendati begitu jika hanya sebatas menggambarkan keadaan, secara teoritis bisa saja dibuat suatu kontruksi yang dapat menggambarkan keadaan sesuai pertimbangan subyektif itu seperti mengawasi gerak tersangka.
Secara kongkrit sangat sulit menilai sampai mengukur pertimbangan subyektif itu. Akibatnya muncul persepsi yang berkembang di masyarakat terksit adanya komunikasi yang dinilai cenderung bertentangan dengan semangat melawan korupsi, ataukah ini merupakan gaya baru pemberantasan korupsi di Lampung.
Masyarakat melihat komitmen penegak hukum memberantas korupsi salah satunya dengan melakukan penahanan kepada para tersangka korupsi supaya dapat memberikan efek jera. Selain itu, pada saat penuntutan masyarakat pasti berharap dituntut maksimal.
Poin tersebut penting mengingat stigma di masyarakat terkait penuntutan perkara korupsi dianggap memiliki budaya “diatas satu dibawah dua” artinya dalam kasus tertentu penuntut umum menuntut terdakwa korupsi jarang diatas dua tahun. Ini dapat dilihat dari beberapa tuntutan dipersidangan akhir-akhir ini.
Sekali lagi, janganlah mempertaruhkan citra penegak hukum hanya dengan pilihan sikap tidak menahan tersangka korupsi. Citra penegak hukum khususnya Korp Adhyaksa di Lampung masih harum begitu juga dengan kepercayaan masyarakat.
Karena itu, diharapkan dapat melihat secara utuh kasus ini kemudian Kejaksaan segera menahan para tersangka menggunakan pertimbangan obyektif dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP. Dijelaskan bahwa penahanan dapat dikenakan kepada tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih.
Ini dilakukan bila jaksa menjerat tersangka dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 TAhun 2001 tentang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun.
Penulis : Wendri Wahyudi, SAN,MH.
Posting Komentar