PS 14 tempat tinggal almarhum Hindun adalah mayoritas pendukung pasangan Anies-Sandi
Ustaz menolak menyalatkan jenazah Hindun di musala karena cuaca mendung dan waktu mepet menjelang malam
Sejak akhir pekan lalu, sebuah keluarga yang tinggal di rumah petak sempit, di sebuah gang di Jakarta Selatan, menjadi bahan omongan media. Muasalnya, demikian menurut pemberitaan awal, jenazah bernama Hindun, usia 77 tahun, ditolak oleh seorang ustaz untuk disalatkan di sebuah musala. Alasannya, Hindun memilih Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama - Djarot Syaiful Hidayat dalam putaran perdana Pilkada Jakarta, 15 Februari silam. Ia seketika bikin ramai orang berkomentar di media sosial.
Tetapi bagaimana persisnya peristiwa tersebut?
Keluarga Hindun tinggal di salah satu gang di pinggir Jalan Karet Karya II. Rumahnya hanya seukuran 3x4 meter, berbatasan langsung dengan jalan kampung. Seluruh perkakas dijejalkan dalam kamar petak tersebut. Ada televisi menghadap pintu; ada sekat yang dibikin sebagai tempat tidur di samping kiri pintu. Ada partisi dari tripleks membagi ruang tengah dan dapur dan kamar mandi di pojok kanan kamar.
Jumat sore (10/3), reporter Tirto mendatangi rumah keluarga almarhum Hindun. Ada lima orang tengah duduk di dalam rumah petak. Ada Sudarsih (60), Arnisah (57), Neneng (46)--ketiganya anak Hindun--dan Yeni (30), cucu Hindun. Mereka bercerita bagaimana akhirnya Hindun disalatkan di rumah.
Neneng mengisahkan, ia meminta ustaz Syafii, tokoh masyarakat dan pemuka agama di Karet, agar mengobati Hindun dengan cara mendoakan air minum untuk Hindun, sehari sebelum meninggal. Pada Selasa (7/3) pagi, Hindun sempat bilang kepada Neneng agar tidak pergi bekerja ke penguburan umum Karet Bivak. Neneng bekerja sebagai tenaga lepas harian di sana.
Hindun juga meminta Neneng untuk memanggil semua anggota keluarga. Usai semua berkumpul, dan menyerahkan perawatan kepada Arnisah, Neneng tetap pergi bekerja.
Usai zuhur, Hindun berkata ia mengantuk. Itu momen terakhirnya. Ia meninggal sekitar pukul 13.30.
Mendengar ibunya tiada, Neneng segera ke rumah. Ada sedih dan murung. Tetapi ia mesti mengurus proses pemakaman. Ustad Syafii dan sejumlah warga ikut membantunya. Mereka menyiapkan keranda dan peralatan mandi jenazah. Warga memandikan Hindun. Surat kematian diproses oleh pengurus RT.
Apa yang disebut "menolak menyalatkan jenazah" muncul saat Neneng menginginkan jasad ibunya disalatkan di musala.
Sekitar pukul 17.30, Neneng berbicara dengan ustad Syafii. Obrolannya, ia minta jenazah Hindun disalatkan di musala terdekat, musala Al Mu’minun. Syafii menolak permintaan tersebut. Alasannya, tidak ada jemaah di musala pada jam tersebut.
“Pak ustaz ini gimana? Bisa enggak disalatin di musala? Pak ustaz bilang, 'Enggak usah, Neng. Percuma. Enggak ada orang. Sudah di rumah saja,'” ujar Neneng. Jenazah Hindun akhirnya disalatkan di rumah.
Neneng membantah kabar kalau jenazah Hindun tidak disalatkan di musala karena cuaca hujan. Ini dikuatkan oleh Sudarsih, anak almarhum Hindun, yang mengatakan alasan karena hujan "tidaklah tepat."
“Hujan itu sesudah di tempat pemakaman,” tegas Sudarsih.
“Hujan itu posisinya sudah sampai makam,” sahut Yeni, cucu alamarhum Hindun.
Neneng juga membantah bila ia diminta buru-buru oleh pihak pemakaman. Ia diberitahu pihak TPU yang menunggu jenazah. Akan tetapi, kepala TPU Karet Bivak, tempat Neneng bekerja sebagai pekerja lepas di sana, sudah bilang kepada Neneng akan membantu pemakaman sang ibu apabila pemakaman larut.
"Untuk cepat-cepat, enggak, ya. Kita dikasih waktu karena yang ngurusin dari Kepala TPU dari Bivak. Dia bilang, pokoknya jam 6 masih bisa. Si kepala TPU bilang, 'Kalau ada masalah, ngomong sama saya, Neng,'” ujar Neneng.
Kejanggalan yang dirasakan Neneng sesudah ia tidak mendapatkan mobil jenazah. Umumnya, keluarga jenazah dibantu ambulans dari pihak RT untuk mengantar ke lokasi pemakaman. Justru Neneng mendapatkan ambulans dari RW tetangga, yakni RW 07.
“RT enggak ngomong apa-apa. Ketua RW sebelah ngomong ke saya, menawarkan (bantuan),” katanya.
Ambulans tersebut dari kubu Anies-Sandi karena mobil jenazah lain tidak tersedia.
“Saya enggak tahu-menahu itu mobil punya siapa karena Pak RT Salman (RT 8/RW 7) nawarin mobil dari Golkar tapi katanya dari Golkar enggak ada,” kata Neneng.
Jenazah Hindun disalatkan di rumah petaknya. Ia menghadap televisi sebagai arah kiblat. Ustaz Syafii yang menjadi imam. Karena ukuran rumah kecil, hanya ada 11 jemaah yang ikut salat jenazah. Baris pertama dan kedua ada 4 orang, baris ketiga, dekat pintu, ada 3 orang.
Usai memandikan dan menyalati jenazah, para pelayat, dengan jenazah diantar oleh ambulans dari kubu Anies-Sandi, mengantar warga ke liang lahat di TPU Menteng Pulo. Proses pemakaman berjalan lancar. Neneng bahkan mendapat uang santunan dari para ketua RT sebesar Rp1,1 juta. Sampai saya bertemu dengannya, Neneng tetap merasa kesal bahwa almarhum ibunya tidak disalatkan di musala Al Mu’minun, dengan alasan faktor cuaca dan waktu.
“Kenapa?” ujar Neneng.
Tetapi bagaimana persisnya peristiwa tersebut?
Keluarga Hindun tinggal di salah satu gang di pinggir Jalan Karet Karya II. Rumahnya hanya seukuran 3x4 meter, berbatasan langsung dengan jalan kampung. Seluruh perkakas dijejalkan dalam kamar petak tersebut. Ada televisi menghadap pintu; ada sekat yang dibikin sebagai tempat tidur di samping kiri pintu. Ada partisi dari tripleks membagi ruang tengah dan dapur dan kamar mandi di pojok kanan kamar.
Jumat sore (10/3), reporter Tirto mendatangi rumah keluarga almarhum Hindun. Ada lima orang tengah duduk di dalam rumah petak. Ada Sudarsih (60), Arnisah (57), Neneng (46)--ketiganya anak Hindun--dan Yeni (30), cucu Hindun. Mereka bercerita bagaimana akhirnya Hindun disalatkan di rumah.
Neneng mengisahkan, ia meminta ustaz Syafii, tokoh masyarakat dan pemuka agama di Karet, agar mengobati Hindun dengan cara mendoakan air minum untuk Hindun, sehari sebelum meninggal. Pada Selasa (7/3) pagi, Hindun sempat bilang kepada Neneng agar tidak pergi bekerja ke penguburan umum Karet Bivak. Neneng bekerja sebagai tenaga lepas harian di sana.
Hindun juga meminta Neneng untuk memanggil semua anggota keluarga. Usai semua berkumpul, dan menyerahkan perawatan kepada Arnisah, Neneng tetap pergi bekerja.
Usai zuhur, Hindun berkata ia mengantuk. Itu momen terakhirnya. Ia meninggal sekitar pukul 13.30.
Mendengar ibunya tiada, Neneng segera ke rumah. Ada sedih dan murung. Tetapi ia mesti mengurus proses pemakaman. Ustad Syafii dan sejumlah warga ikut membantunya. Mereka menyiapkan keranda dan peralatan mandi jenazah. Warga memandikan Hindun. Surat kematian diproses oleh pengurus RT.
Apa yang disebut "menolak menyalatkan jenazah" muncul saat Neneng menginginkan jasad ibunya disalatkan di musala.
Sekitar pukul 17.30, Neneng berbicara dengan ustad Syafii. Obrolannya, ia minta jenazah Hindun disalatkan di musala terdekat, musala Al Mu’minun. Syafii menolak permintaan tersebut. Alasannya, tidak ada jemaah di musala pada jam tersebut.
“Pak ustaz ini gimana? Bisa enggak disalatin di musala? Pak ustaz bilang, 'Enggak usah, Neng. Percuma. Enggak ada orang. Sudah di rumah saja,'” ujar Neneng. Jenazah Hindun akhirnya disalatkan di rumah.
Neneng membantah kabar kalau jenazah Hindun tidak disalatkan di musala karena cuaca hujan. Ini dikuatkan oleh Sudarsih, anak almarhum Hindun, yang mengatakan alasan karena hujan "tidaklah tepat."
“Hujan itu sesudah di tempat pemakaman,” tegas Sudarsih.
“Hujan itu posisinya sudah sampai makam,” sahut Yeni, cucu alamarhum Hindun.
Neneng juga membantah bila ia diminta buru-buru oleh pihak pemakaman. Ia diberitahu pihak TPU yang menunggu jenazah. Akan tetapi, kepala TPU Karet Bivak, tempat Neneng bekerja sebagai pekerja lepas di sana, sudah bilang kepada Neneng akan membantu pemakaman sang ibu apabila pemakaman larut.
"Untuk cepat-cepat, enggak, ya. Kita dikasih waktu karena yang ngurusin dari Kepala TPU dari Bivak. Dia bilang, pokoknya jam 6 masih bisa. Si kepala TPU bilang, 'Kalau ada masalah, ngomong sama saya, Neng,'” ujar Neneng.
Kejanggalan yang dirasakan Neneng sesudah ia tidak mendapatkan mobil jenazah. Umumnya, keluarga jenazah dibantu ambulans dari pihak RT untuk mengantar ke lokasi pemakaman. Justru Neneng mendapatkan ambulans dari RW tetangga, yakni RW 07.
“RT enggak ngomong apa-apa. Ketua RW sebelah ngomong ke saya, menawarkan (bantuan),” katanya.
Ambulans tersebut dari kubu Anies-Sandi karena mobil jenazah lain tidak tersedia.
“Saya enggak tahu-menahu itu mobil punya siapa karena Pak RT Salman (RT 8/RW 7) nawarin mobil dari Golkar tapi katanya dari Golkar enggak ada,” kata Neneng.
Jenazah Hindun disalatkan di rumah petaknya. Ia menghadap televisi sebagai arah kiblat. Ustaz Syafii yang menjadi imam. Karena ukuran rumah kecil, hanya ada 11 jemaah yang ikut salat jenazah. Baris pertama dan kedua ada 4 orang, baris ketiga, dekat pintu, ada 3 orang.
Usai memandikan dan menyalati jenazah, para pelayat, dengan jenazah diantar oleh ambulans dari kubu Anies-Sandi, mengantar warga ke liang lahat di TPU Menteng Pulo. Proses pemakaman berjalan lancar. Neneng bahkan mendapat uang santunan dari para ketua RT sebesar Rp1,1 juta. Sampai saya bertemu dengannya, Neneng tetap merasa kesal bahwa almarhum ibunya tidak disalatkan di musala Al Mu’minun, dengan alasan faktor cuaca dan waktu.
“Kenapa?” ujar Neneng.
Jawaban dari Ketua RT dan Ustaz Syafii
Ketua RT 09/RW 05 Abdurrahman membantah soal kabar penolakan menyalati almarhum Hindun lantaran pilihan politiknya mencoblos Ahok. Semua proses pemakaman berjalan normal sesuai ketentuan.
“Saya rasa mah enggak. Biasa saja. Enggak ada unsur-unsur politik,” katanya saat saya menemuinya di dekat pos warga, Jumat sore (10/3).
Ia mengatakan, setiap warga yang meninggal tetap diperlakukan sebagaimana mestinya dengan cara saling membantu sesama warga. Proses pemakaman Hindun terkesan dipercepat dengan menyalatinya di rumah karena waktu yang mepet, menjelang malam. Ia menegaskan, mereka memilih untuk tidak menyalati jenazah Hindun di musala karena tak banyak warga di sana.
Ustaz Syafii, mendengar kabar dari pemberitaan bahwa dirinya menolak menyalati jenazah Hindun, berkata kaget. Ia sedih dengan kabar tersebut. Apalagi omongan orang yang berkomentar di media sosial berpatokan pada poster penolakan jenazah "pembela dan pendukung penista agama", yang terpasang di musala Al Mu’minun.
Baginya, komentar tersebut, tanpa mengetahui duduk perkaranya, sudah tergolong sebagai fitnah. Pria yang tinggal di RT 08/RW 05 ini "agak menyesal" menangani jenazah Hindun bila ternyata kejadian berikutnya justru memojokkan dirinya.
“Gue kalau tahu begini mending enggak usah aja gue urusin,” tegas Syafii saat ditemui di musala Al Mu’minun, Jumat (10/3).
Syafii berkata, ia tetap menangani Hindun dan warga lain apabila ada yang meninggal tanpa melihat latar belakang. Apalagi Hindun ialah salah satu orangtua di kampungnya dan sudah dianggap ibu sendiri. Ia menangani Hindun sebaik mungkin termasuk kabar dirinya terpaksa menyalatkan di rumah.
Syafii menuturkan, Nenek Hindun sudah menjelang ajal pada Senin (6/3/). Neneng menemui dirinya untuk meminta air doa. Ia lantas mengambil segelas air dan membacakan surat Al-Fatihah. Ia menyarankan kepada Neneng agar diobati juga dengan daun kelor. Keluarga menyetujui. Sayang, kurang dari 24 jam, Hindun meninggal dunia.
“Saya juga yang digedor pintunya,” kata Syafii.
Syafii membawa semua perlengkapan memandikan jenazah begitu mendengar kabar Hindun meninggal. Warga sekitar juga segera membantu proses pemakaman. Beberapa warga ada yang membeli papan, bendera kuning, kamper dan kapas, dan memanggil Ketua RT Abdurrahman untuk mengurus surat pemakaman ke TPU Menteng Pulo. Syafii membeli kafan. Liang lahat juga sudah disiapkan.
Syafii tetap melakukan empat kewajiban umat lslam terhadap seorang muslim yang meninggal. Ia memandikan, mengafani, menyalati, dan menguburkan jenazah Nenek Hindun sesuai syariat. Ia membenarkan adanya proses penyalatan di rumah Hindun.
"Pas salat, gue jadi imam dan (memimpin doa) sampai kuburan. Istilahnya gue urus sampai selesai," kata Syafii.
Keputusan jenazah Hindun akhirnya disalatkan di rumah lantaran cuaca dan waktu menjelang malam.
“Langit sudah hitam banget. (Jenazah) jam 5 harus sudah sampai ke kuburan. Jam 5 masih dimandiin,” katanya.
Usai dimandikan, keluarga Hindun mendapatkan ambulans dari kelompok Anies-Sandi. Syafii berkata bahwa ambulans ini merupakan bantuan dari RW 07. Sekitar pukul 17.30, jenazah Hindun dibawa ke TPU Menteng Pulo. Ia berada di mobil jenazah bersama keluarga dan beberapa pelayat mengiringinya.
Perihal jenazah Hindun disalatkan di rumah, lantaran cuaca mendung dan waktu menjelang malam, dibenarkan oleh warga sekitar.
Sutedjo, 40 tahun, yang rumahnya di seberang rumah Nenek Hindun, mengatakan bahwa warga memutuskan untuk menyalatkan almarhum di rumah karena masalah waktu.
“Memang waktu itu sore, nguber waktu, mau hujan, sudah mau magrib,” katanya kepada saya.
Ia menuturkan, ustaz Syafii yang memandikan jenazah Hindun, dan menjadi imam salat jenazah. Ia juga turut melayat. Menurutnya, keputusan Syafii "sudah tepat" mengingat hujan turun deras ketika pelayat tiba di pemakaman. Tirto.id (13 Maret, 2017)
“Saya rasa mah enggak. Biasa saja. Enggak ada unsur-unsur politik,” katanya saat saya menemuinya di dekat pos warga, Jumat sore (10/3).
Ia mengatakan, setiap warga yang meninggal tetap diperlakukan sebagaimana mestinya dengan cara saling membantu sesama warga. Proses pemakaman Hindun terkesan dipercepat dengan menyalatinya di rumah karena waktu yang mepet, menjelang malam. Ia menegaskan, mereka memilih untuk tidak menyalati jenazah Hindun di musala karena tak banyak warga di sana.
Ustaz Syafii, mendengar kabar dari pemberitaan bahwa dirinya menolak menyalati jenazah Hindun, berkata kaget. Ia sedih dengan kabar tersebut. Apalagi omongan orang yang berkomentar di media sosial berpatokan pada poster penolakan jenazah "pembela dan pendukung penista agama", yang terpasang di musala Al Mu’minun.
Baginya, komentar tersebut, tanpa mengetahui duduk perkaranya, sudah tergolong sebagai fitnah. Pria yang tinggal di RT 08/RW 05 ini "agak menyesal" menangani jenazah Hindun bila ternyata kejadian berikutnya justru memojokkan dirinya.
“Gue kalau tahu begini mending enggak usah aja gue urusin,” tegas Syafii saat ditemui di musala Al Mu’minun, Jumat (10/3).
Syafii berkata, ia tetap menangani Hindun dan warga lain apabila ada yang meninggal tanpa melihat latar belakang. Apalagi Hindun ialah salah satu orangtua di kampungnya dan sudah dianggap ibu sendiri. Ia menangani Hindun sebaik mungkin termasuk kabar dirinya terpaksa menyalatkan di rumah.
Syafii menuturkan, Nenek Hindun sudah menjelang ajal pada Senin (6/3/). Neneng menemui dirinya untuk meminta air doa. Ia lantas mengambil segelas air dan membacakan surat Al-Fatihah. Ia menyarankan kepada Neneng agar diobati juga dengan daun kelor. Keluarga menyetujui. Sayang, kurang dari 24 jam, Hindun meninggal dunia.
“Saya juga yang digedor pintunya,” kata Syafii.
Syafii membawa semua perlengkapan memandikan jenazah begitu mendengar kabar Hindun meninggal. Warga sekitar juga segera membantu proses pemakaman. Beberapa warga ada yang membeli papan, bendera kuning, kamper dan kapas, dan memanggil Ketua RT Abdurrahman untuk mengurus surat pemakaman ke TPU Menteng Pulo. Syafii membeli kafan. Liang lahat juga sudah disiapkan.
Syafii tetap melakukan empat kewajiban umat lslam terhadap seorang muslim yang meninggal. Ia memandikan, mengafani, menyalati, dan menguburkan jenazah Nenek Hindun sesuai syariat. Ia membenarkan adanya proses penyalatan di rumah Hindun.
"Pas salat, gue jadi imam dan (memimpin doa) sampai kuburan. Istilahnya gue urus sampai selesai," kata Syafii.
Keputusan jenazah Hindun akhirnya disalatkan di rumah lantaran cuaca dan waktu menjelang malam.
“Langit sudah hitam banget. (Jenazah) jam 5 harus sudah sampai ke kuburan. Jam 5 masih dimandiin,” katanya.
Usai dimandikan, keluarga Hindun mendapatkan ambulans dari kelompok Anies-Sandi. Syafii berkata bahwa ambulans ini merupakan bantuan dari RW 07. Sekitar pukul 17.30, jenazah Hindun dibawa ke TPU Menteng Pulo. Ia berada di mobil jenazah bersama keluarga dan beberapa pelayat mengiringinya.
Perihal jenazah Hindun disalatkan di rumah, lantaran cuaca mendung dan waktu menjelang malam, dibenarkan oleh warga sekitar.
Sutedjo, 40 tahun, yang rumahnya di seberang rumah Nenek Hindun, mengatakan bahwa warga memutuskan untuk menyalatkan almarhum di rumah karena masalah waktu.
“Memang waktu itu sore, nguber waktu, mau hujan, sudah mau magrib,” katanya kepada saya.
Ia menuturkan, ustaz Syafii yang memandikan jenazah Hindun, dan menjadi imam salat jenazah. Ia juga turut melayat. Menurutnya, keputusan Syafii "sudah tepat" mengingat hujan turun deras ketika pelayat tiba di pemakaman. Tirto.id (13 Maret, 2017)
Posting Komentar