Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. |
Demikian disampaikan Ketua Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait, Jumat (25/8/2017). Menurut Arist, putusan itu juga merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan khusus martabat anak di Indonesia.
"Masyarakat Siantar Simalungun masih tidak lupa atas kontrovesi putusan bebas PN Siantar juga diberikan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak di kota Pematang Siantar beberapa bulan lalu yang diduga dilakukan tokoh pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Siantar," ujar dia.
Kasus kejahatan seksual yang tergolong sadis dan diluar akal sehat kemanusiaan yang menimpa FG diyakini secara penuh oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui bukti-bukti hukum yang disampai penyidik Polri.
Juga melalui fakta-fakta hukum selama persidangan, urai Arist, sehingga JPU menuntut terdakwa Abdi Suranta Ginting dengan ancaman hukuman 13 tahun.
Menurut JPU Rahmaniar Tarigan diyakini bahwa saat terdakwa melakukan perbuatan bejatnya dengan cara memaksa korban dengan ancaman kekerasan diserrai intimidasi untuk melakukan hubungan seksual terhadap anak.
Hal itu membuat korban menanggung rasa malu akibatnya korban mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri dengan cara minum racun rumput dirumahnya sebelum korban mendengar putusan hakim yang dibacakan Majelis hakim Rabu 23/08/17.
Oleh karena fakta hukum itulah JPU berkeyakinan menuntut terdakwa dengan pasal 81 junto pasal 76D UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan dari UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dengan ancaman hukuman 15 tahun pidana penjara, namun majelis hakim justru mengabaikan fakta-fakta hukum yang sudah diyakini JPU sebagai bukti-bukti hukum yang lengkap.
Untuk menegakkan hukum dan demi kepentingan terbaik anak serta untuk memutus mata rantai kejahatan seksual yethafap anak.
Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga pelaksana tugas dan fungsi keorganisasian dari Perkumpulan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Pusat yang memberikan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia mendesak dan mendukung Kejaksaan Negeri Lubukpakam untuk segera melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Selanjutnya membuktikan bahwa terdakwa Abdi Suranta Ginting adalah sungguh-sungguh pelakunya dan menguji pertimbangan hakim yang mendasari putusannya adalah keliru dan mencerai hukum dengan memperkuat fakta-fakta yuridis guna meyakinkan hakim agung.
Dorongan Kasasi ini sebagai bentuk menegakkan hukum yang berkeadilan bagi korban dan tidak ada kata kompromisi bagi predator dan monster kejahatan seksual terhadap anak di Indonesisia.
Arist Merdeka Sirait putra Siantar ini menegaskan dan menyesalkan bahwa keputusan Majelis Hakim membebaskan terdakwa dari segala tuduhan.
Sikap menyesalkan putusan tersebut menurutnya mencederai ketentuan UU RI No. 17 tahun 2016 tentang penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 01 tahun 2016 tetang perubahan kedua UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
UU RI No. 35 Tahun 2014 dan Intruksi Presiden No. 05 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA) serta Peraturan Mahkanah Agung (Perma) yang menjadi rujukan dalam penanganan perkara-perkara kekerasan terhadap anak.
"Seharusnyalah Majelis Hakim bertindak untuk menegakkan hukum. Bukan justru membebaskan para predator-predator kejahatan seksual hanya karena dengan aladan tidak cukup saksi. Pertanyaan kita semua khususnya kepada hakim, adakah terjadikah perkosaan jika ada saksi yang melihat atau yang menonton?," tegasnya
Disatu sisi pertimbangan majelis hakim yang menyebutkan bahwa selain tidak ditemukan Legal justice dan social justice dalam memeriksa perkara kejahatan seksual ini, Majelis hakim justru lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa yang menyebutkan bahwa korbanlah yang sering menggoda terdakwa dan korban pulalah yang sering dalam kondisi mabuk padahal terdakwalah yang mempunyai tabiat mabuk-mabukan.
Majelis hakim, masih kata Arist, seharusnya mempertimbangkan hukum bahwa melakukan hubungan seksual terhadap anak tidak dikenal kata suka sama suka. Dengan demikian jika terjadi hubungan seksual terhadap anak dengan bujuk rayu dan tipu muslihat maka pelaku oleh hukum telah dikategorikan melakukan perbuatan tercela dan merupakan tindak pidana.
"Adalah ironis Majelis Hakim yang terdiri dari 3 orang hakim perempuan justru tidak sensitif terhadap hak anak dan perempuan dalam menjatukan vonis bebas terhadap terdakwa," papar dia
Atas keyakinanan, panggilan dan sensitif terhadap derita anak korban perkosaan justru bisa dilakukan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara kejahatan seksual khususnya terhadap anak.
Melihat kejanggalan atas putusan majelis hakim ini, Komnas anak selain mendukung upaya Kasasi Kejari Lubukpakam ke MA, Komnas Perlindungan Anak segera meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa 3 orang majelis hakim yang membebaskan terdakwa Abdi Suranta, dan dalam waktu dekat akan bertemu dengan Ketua Pengadilan Lubukpakam sebelum memberikan laporan kepada Ketua Mahkamah Agung.
"Cara-cara dan pertimbangan hakim yang memeriksa perkara kejahatan seksual terhadap anak dan tidak sensitif dan tidak mempunyai pespektif terhadap masa depan anak anak tidak bisa dibiarkan," tutup Arist.
Posting Komentar