KISRUH pembangunan flyover di jalan nasional yang sedang dikerjakan Pemerintah Kota Bandarlampung sebenarnya sudah menunjukkan kacaunya konsep tata kota kita.
Mencermati kasus salah-benar pembangunan jembatan layang baru yang lebih dikenal dengan flyover MBK itu, mengingatkan saya akan awal dimulainya flyover di Jalan Kimaja.
Ketika itu, teman saya mewawancarai Rektor Itera yang dikenal ahli transportasi dari ITB. Saya membekali teman yang akan wawancara dengan komentar sejumlah pakar transportasi yang sudah kami rangkum sebelumnya.
Kesimpulannya, pembangunan jembatan layang itu hanya upaya instan untuk memindahkan titik kemacetan. Tidak lebih.
Sejak mengemukanya bobrok administrasi Flyover MBK ini, saya langsung teringat kenangan ide-ide cemerlang Pemkot Bandarlampung mulai 2010. Awal jabatan Walikota Bandarlampung dipegang Herman HN.
Beliau sangat rajin turun membersamai masyarakat biasa, giat melebarkan jalan, meminta institusi atau rumah yang dekat jalan agar menyumbangkan tanahnya, mengumpulkan ratusan pengusaha agar ikut berkontribusi untuk pembangunan kota.
Semuanya, menunjukkan sikap dan kemampuan Herman HN sebagai pemimpin. Pengusaha yang dikumpulkan secara suka rela bantingan. Ada yang menyumbang sampai miliaran, ratusan dan puluhan juta.
Saat itu, posisi Walikota Herman HN yang masih segar, mantan pejabat di Pemprov Lampung dengan posisi yang sangat penting. Jadi Kepala Dispenda, Karo Keuangan serta berpengalaman di birokrasi, langsung mengubah haluan kebijakan incumbent yang dikalahkannya.
Program Edi Sutrisno tentang waterfront city, digitalisasi parkir, dan semacamnya, seketika hilang. Konsep waterfront city justru diganti dengan munculnya reklamasi pantai, Pemkot sepertinya memfasilitasi dan memberi izin PT. SBR untuk membuat pelabuhan dan penimbunan batu bara yang entah dari mana dan dikirim ke mana. Soal parkir, diberikan pada pihak ketiga yang ternyata tidak berusia panjang karena beralasan tidak menguntungkan sesuai target.
Selain itu, yang paling sulit terlupa adalah keberanian Pemkot Bandarlampung membangun BRT sebagai cara ideal untuk mengatasi kemacetan dan membuat transportasi massal.
Mari kita lihat, apa yang terjadi kemudian dengan BRT? Bus Rapid Transit (BRT) yang diberi nama Trans Bandarlampung itu, juga sama seperti nasib retribusi parkir yang dikelola swasta.
Tepatnya, digarab oleh PT Mitra Bina Persada (MBP) Lampung dimana Andi Surya yang saat ini jadi anggota DPD RI sebagai komisarisnya.
Catatan saya, ketika mulai masuk bulan September 2013, BRT semakin menunjukkan kepastian bangkrut dan tutup. Sebab, berkembang kabar, sejumlah armada BRT dilego ke sebuah perusahaan di luar Lampung, yakni Jambi dan Pekanbaru.
BRT adalah harapan dan kegembiraan bagi masyarakat kota. Awal munculnya, cukup menjanjikan dan bahkan bisa menggeser bus Damri yang sudah beroperasi sebagai transportasi publik selama puluhan tahun.
Lahirnya BRT membuat sopir Angkot beberapa kali melakukan demo. Hanya dalam rentang waktu dua tahun, sejumlah sopir angkot yang saya naiki bercerita.
“Tarikan memang sepi, tapi gue sopir yang masih diwajibkan setor pada juragan saja, masih untung, kenapa BRT rugi? Tidak masuk akal,” kata Fendi, sopir yang ikut demo di depan kantor walikota yang saya wawancarai sekira Agustus 2013.
Di sinilah saya melihat, ada persoalan serius pada semua kebijakan Walikota Herman HN yang nyaris tanpa kajian dan terbukti dengan kisruh Flyover MBK. Bagi penulis, kisruh itu membuka tabir dan bagian dari penyakit “mentalitas nrabas” dan “neopatrimonialisme”.
Mentalitas Nrabas
Kelemahan dan bahkan bisa disebut sebagai penghambat pembangunan adalah mentalitas nrabas. Menurut Koentjaraningrat, yang dikenal Bapak Antropologi Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974) menjelaskan berbagai dampak dan ancaman akibat mentalitas nrabas.
Orang dengan mental semacam ini, ketika terbentur masalah pasti berusaha menghindari tanggungjawab. Pengidap mentalitas nrabas lebih menyukai jalan pintas meski tak mengindahkan etika, apalagi taat hukum taat azas.
Bahkan, orang dengan mentalitas nrabas menyebabkan hilangnya rasa malu (shameless), perasaan tidak enak serta lenyapnya nilai-nilai instrumental seperti dosa. Yang ada kemudian, merasa benar sendiri.
Masyarakat biasa ketika mulai menjadikan mentalitas nrabas sebagai budaya keseharian, tak butuh waktu lama untuk menunggu kekacauan sosial atau chaos.
Apalagi jika diidap elit politik? Dampak kerusakan dan kerugian masyarakat luas pasti langsung terasa. Sebab, di sana ada kerugian uang negara meski belum tentu kena sanksi secara hukum.
Saat ini, kita melihat alangkah banyaknya kebijakan pemerintah dan prilaku elit politik yang menunjukkan bejat dan rusaknya mental, arogan serta ngawurnya sebuah proyek meski awalnya diklaim untuk dan atas nama rakyat.
Tidak berlebihan jika memang layak diberi stempel kalau sedang ada fenomena, banyak orang yang punya mentalitas nrabas sedang berkuasa. Orang yang punya kelakuan heartless sedang punya jabatan publik. Sayangnya, rule of law di negara kita, masih di bawah kendali penguasa politik.
Neopatrimonialisme
Adalah Michael Bratton dan Van de Walle dalam World Politic, 46, Juli 1994 yang menyebutkan berbagai bentuk korupsi kekuasaan itu sebagai neopatrimonialisme.
Korupsi kekuasaan, bisa dirunut dalam berbagai kelakuan elit politik yang kemudian diiringi sikap kolusi maupun nepotisme. Meski demikian, agak berlebihan ketika kita memberi kesimpulan kalau Herman HN mengidap neopatrimonialisme.
Mungkin walikota hanya punya ambisi memajukan kota yang dipimpinnya, namun karena tidak ada ahli yang berkompeten yang memberikan pendampingan, membuat sosok yang pernah saya kagumi ini, selalu terjebak blunder kebijakan yang terus jadi komoditas politik.
Tidak mudah memang menjadi elit negara yang didapat dari kontestasi politik. Selain sudah ada sistem yang mapan untuk melanggengkan neopartimonialisme, persaingan yang meletakkan politik sebagai panglima, struktur pemerintahan dan kenegaraan masih mengalami tumpang tindih sehingga ketika menjadi kepala daerah atau bahkan kepala negara, mensyaratkan banyak hal. Baik dan niat membangun saja tidak cukup.
Butuh pemahaman dan kemampuan mendengar secara komprehenshif. Termasuk dukungan birokrasi yang belum sepenuhnya berhasil melakukan reformasi internal.
Stockfield batu bara dibangun di dekat permukiman warga, parkir yang tidak jelas pengelolaannya, BRT yang bangkrut, flyover tanpa studi kelayakan dan rumah-rumah warga yang diwajibkan beli plakat oleh lurah mestinya jadi permenungan bersama.
Harus ada yang mengingatkan Walikota Bandarlampung. Ucapan untuk simbol ketakwaan seperti “Allah Tidak Tidur”, “Saya Bunuh”, “Saya Lawan”, “Demi Rakyat Bandarlamnpung” dan berbagai sarkasme lainnya, tidak cukup untuk menunjukkan pribadi yang layak dipilih sebagai pemimpin.
Sekira tahun 2012 saya sempat bertemu Walikota Herman HN. Saya berkisah bagaimana Mahmoud Ahmadinejad yang jadi presiden dimulai dari kariernya sebagai walikota Teheran.
Dengan ramah, beliau bercerita, lebih hebat Herman HN menertibkan jalanan di Pasar Bambu Kuning dibanding Jokowi yang memindahkan pedagang kaki lima di Kota Solo.
Saya dan mungkin semua warga Bandarlampung ketika itu sepakat, Herman HN lebih mumpuni dalam soal kepemimpinan dibanding Walikota Solo.
Hanya kemudian, tenggelam karena mendadak ada pasien yang dibuang oleh rumah sakit daerah yang notabene di bawah kepemimpinannya. Dan parahnya, secara tegas dia menjelaskan di televisi nasional, kalau kejadian itu bermotif politik menjelang Pemilihan Gubernur Lampung.
Sekarang, kisruh flyover MBK yang sudah sangat jelas pun, dibawa seolah bermotif politik. Mungkin benar ada motif politiknya, akan tetapi cara menyelesaikannya, masih menunjukkan dua penyakit laten politikus kita. Yakni, bermental menerabas dan neopatrimonialisme. (*)
Posting Komentar